Asal Usul Jawa Dwipa

Asal Usul Jawa Dwipa

Adalah  nama pulau Jawa dizaman dulu kala, merupakan satu dari gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara yang disebut  Nusantara, pada dulu kala dinamakan Sweta Dwipa.Seluruh gugusan kepulauan di Asia Selatan dan Tenggara dinamakan anak benua atau gugusan pulau-pulau Jawata.
Dahulu ,anak benua di India disebut Jambu Dwipa, sedangkan seluruh kepulauan Nusantara disebut Sweta Dwipa. Karena Jambu Dwipa dan Sweta Dwipa berasal dari daerah yang sama, maka tidak heran kalau budayanya banyak yang menyerupai atau dalam perkembangan saling mempengaruhi.
Dari perkembangan geografis, pada 20 hingga 36 juta tahun lalu, di Asia bagian selatan terjadi proses bergeraknya anak benua India ke utara, mengakibatkan tabrakan dengan lempengan yang diutara, akibatnya ada tanah yang mencuat keatas , yang kini dikenal sebagai gunung Himalaya.Pada saat itu dataran Cina masih terendam lautan.Anak benua yang diselatan dan tenggara ,yaitu Jawata, termasuk Sweta Dwipa dan Jawa Dwipa muncul sebagai pulau-pulau mata rantai gunung berapi.

Dalam Ramayana Valmiki sudah menyebutkan nama Yavadvipa (Jawadwipa), atau Pulau Yava (jelai). Sekilas ini nama yang sesuai dengan Jawa sebagai penghasil padi. Namun deskripsi tentang Yavadvipa sebagai "tanah tujuh raja, dengan emas dan perak dan tambang-tambangnya" lebih cocok untuk Sumatera yang juga sudah dikenal sebagai penghasil emas. Ramayana juga menyebut Suvarnadvipa, namun agaknya kedua nama ini dirancukan.
Sumber-sumber Arab menyebut kerajaan Jaba dan Zabaj yang dapat diidentifikasi sebagai Sumatera. Abû Rayhân al-Bîrûnî (973-1048) mengaitkan Zabaj dengan Sumatera, dengan menyebutkan pulau tersebut dikenal oleh orang India sebagai Suwarna Dib (Suvarnadvipa). Ibnu Batutah, ketika mendarat pertama kali di Sumatera pada abad ke-14, menyebutkan bahwa dia menginjak "tanah orang-orang Jawa" (jazirat al-jawa). Dia juga kemudian menyebutkan nama Mul Jawa ("Jawa yang pertama"), yang bisa diidentifikasi sebagai Pulau Jawa, tetapi juga sebagai Sumatera Timur

Keturunan Dewa

Dalam cerita kuno dikatakan bahwa orang Jawa itu anak keturunan atau berasal dari dewa. Dalam bahasa Jawa orang Jawa disebut Wong Jawa, dalam bahasa ngoko-sehari-hari, artinya : wong itu dari kata wahong Jawa, artinya orang Jawa itu adalah anak keturunannya dewa. Begitu pula Tiyang Jawa itu dari Ti Hyang Jawa artinya juga sama, yaitu anak keturunan dewa ,dalam bahasa krama inggil –halus.

Jawata artinya adalah dewa, gurunya orang Jawa.

Menurut pedalangan wayang kulit, keindahan pulau Jawa dikala itu telah menarik perhatian dewa dewi dari kahyangan, sehingga mereka turun ke marcapada, tanah Jawa dan membangun kerajaan-kerajaan pertama di Jawa Dwipa.Raja Kediri, Jayabaya adalah  Dewa Wisnu yang turun dari kahyangannya.Jayabaya amat populer di Jawa dan Indonesia karena ramalannya yang akurat mengenai sejarah perjalanan negeri ini dan berisi nasihat-nasihat bijak bagi mereka yang memegang tampuk pimpinan negara, para priyayi/pejabat negara, tetapi juga untuk kawula biasa.Ajarannya mengenai perilaku yang baik benar sebenarnya juga mempunyai kebenaran universal.

Kerajaan Pertama

Jawa Dwipa,  menurut salah satu  sumber adalah kerajaan dewa pertama di pulau Jawa , letaknya di gunung Gede,  Merak, dengan rajanya Dewo Eso atau Dewowarman yang bergelar Wisnudewo. Ini melambangkan dewa kahyangan, permaisurinya bernama Dewi Pratiwi, nama dari Dewi Bumi. Dia adalah putri dari seorang begawan Jawa yang terkenal yaitu Begawan Lembu Suro yang tinggi elmunya/pengetahuan spiritualnya ,. yang mampu hidup di tujuh dimensi alam (Garbo Pitu), tinggal di Dieng (letak geografis di Jawa Tengah). Dieng dari Adhi Hyang artinya suksma yang sempurna.
Perkawinan Wisnudewo dengan Dewi Pratiwi melambangkan turunnya dewa yang berupa suksma untuk menetap dibumi. Keberadaannya di bumi aman dan bisa berkembang karena didukung oleh daya kekuatan bumi yang digambarkan sebagai Begawan Lembu Suro.

Betara Guru

Kecantikan Pulau Jawa bahkan menarik hati Rajanya para dewa yaitu Betara Guru untuk mendirikan kerajaan dibumi. Turunlah dia dari domainnya di Swargaloka dan memilih tempat tinggal di gunung  Mahendra. ( Kini disebut Gunung Lawu terletak diperbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur antara Surakarta dan Madiun). Betara Guru  punya nama lain Sang Hyang Jagat Nata , ratunya Jagat Raya – The king of the Universe dan Sang Hyang Girinata,  ratunya gunung-gunung, - the King of Mountains.  Di kerajaan Mahendra, Sorga yang agung – The great Heaven , Betara Guru memakai nama  Ratu Mahadewa.
Karaton kerajaan Mahendra dibangun mirip seperti karatonnya yang di Kahyangan.

Piranti-piranti sorga juga dibuat, antara lain:
A. Gamelan, seperangkat alat musik  untuk hiburan para dewa dengan menikmati alunan suaranya yang merdu dan saat  sedang menari/olah beksa. Menari/olah beksa itu bukanlah sekedar mengayunkan raga mengikuti ritme musik tetapi merupakan latihan untuk konsentrasi dan selanjutnya  kontemplasi untuk mengenal jati diri dan menemui Sang Pencipta (seperti Yoga dalam arti yang sebenarnya) . Nama gamelan itu adalah Lokananta.
B. Patung-patung penjaga istana yaitu Cingkarabala dan Balaupata , yang diletakkan dikanan-kiri pintu gerbang istana. Artinya istana dijaga kuat sehingga aman.
C. Pusaka berupa keris , cakra, tombak, panah, dll dibuat oleh empu terkenal yaitu Empu Ramadhi .

Raja Dewa yang lain

Setelah para dewa bisa tenang tinggal dibumi Jawa , menikah dengan putri pribumi dan punya anak keturunan, Betara Guru kembali ke Kahyangan. Beberapa putranya ditunjuk untuk meneruskan memimpin kerajaan-kerajaan selain di Jawa juga di Sumatra dan Bali.
Di Sumatra :Sang Hyang Sambo bergelar Sri Maharaja  Maldewa, di kerajaan Medang Prawa, di gunung Rajabasa .( Didekat Ceylon sekarang ada negeri Maldives).
Di Bali :Sang Hyang Bayu , bergelar Sri Maharaja Bimo, di Gunung Karang , kerajaannya Medang Gora. ( Pulau Bali juga terkenal sebagai Pulau Dewata)

Di Jawa :
1. Sang Hyang Brahma bergelar Sri Maharaja Sunda, di gunung Mahera , Anyer, Jawa Barat. Kerajaannya Medang Gili.( Asal mulanya penduduk yang tinggal di Jawa bagian barat disebut orang Sunda).
2. Sang Hyang Wisnu bergelar Sri Maharaja Suman , di  gunung Gora , Gunung Slamet , Jawa Tengah. Kerajaannya  Medang Puro.
3. Sang Hyang Indra,  bergelar Sri Maharaja Sakra,  di  gunung Mahameru, Semeru , Jawa Timur. Kerajaannya Medang Gana. 

Karaton dipuncak gunung

Menarik untuk diperhatikan bahwa para dewa selalu membangun karaton dipuncak-puncak gunung. Ini menggambarkan dewa itu berasal dari langit, dari tempat yang tinggi. Tempat tinggi, diatas itu artinya bersih, jauh dari hal-hal kotor, sikap harus dijaga tetap suci, baik, benar, sopan, bagi dewa yang telah menjadi manusia dan tinggal dibumi.

Bumi Samboro

Ini artinya tanah yang menjulang kelangit. Dalam kebatinan Kejawen, contohnya adalah Gunung Dieng, Adhi Hyang, maksudnya supaya orang selama masih hidup didunia mencapai puncak pengetahuan spiritual, mendapatkan pencerahan jiwani, tinggi elmunya, suci lahir batin. Puncak itu adalah Adhi Hyang atau Bumi Samboro.

Dewo ngejowantah

Dewa yang menampakkan diri. Dewa yang berbadan cahaya bisa menampakkan diri dan dilihat oleh saudara-saudara kita yang telah tinggi tingkat kebatinannya, yang sudah bontos elmu sejatinya., artinya sudah melihat kasunyataan – kenyataan sejati.
Dipandang dari sudut spiritualitas, turunnya dewa ke bumi adalah gambaran dari merasuknya suksma, spirit, jiwa kedalam badan manusia dan lalu menjadi manusia. Oleh karena itu, manusia termasuk manusia Jawa adalah berasal dari suksma, spirit, dewa.

Orang Jawa

Orang Jawa adalah sebutan bagi orang yang tinggal di Jawadwipa atau dipulau Jawa pada dulu kala.Pada saat ini yang dinamakan orang Jawa adalah penduduk yang menghuni di pulau Jawa bagian tengah dan timur yang disebut suku bangsa Jawa dan anak keturunannya .Pada umumnya mereka masih melestarikan budaya, adat istiadat warisan nenek moyangnya dan berbicara bahasa Jawa.Kebanyakan anak keturunan orang Jawa yang tinggal diluar “tanah Jawa” seperti  di Jakarta dan daerah maupun negara lain, meski masih melestarikan atau akrab dengan budaya leluhurnya, sudah tidak lagi berkomunikasi dengan bahasa Jawa, mereka menggunakan bahasa Indonesia.
Harus diberi acungan jempol bahwa semua suku bangsa yang bermacam-macam di Indonesia, menjunjung tinggi rasa ke- Indonesia-an ,sebagai satu rumpun bangsa yang bersatu.Terlahir sebagai bangsa Indonesia sudah terpatri didalam lubuk hati yang terdalam sejak kelahiran ditanah air tercinta Indonesia, tidak peduli apa suku bangsanya. Rasa kepatriotan kesukuan tidak ada, yang ada adalah patriot Indonesia!
Dalam masyarakat multikultural Indonesia yang pluralistis,  budaya, adat istiadat bermacam daerah dilestarikan dan dikembangkan untuk disumbangkan kepada Indonesia merdeka yang bersatu, bernaung dibawah kibaran bendera pusaka Merah Putih.

Masa Pra-Sejarah

Dalam khasanah Arkeologi, nama Java Man sudah tidak asing lagi, ini menunjuk kepada nenek moyang orang Jawa dikala purba.Situs manusia purba di Indonesia, pulau Jawa adalah di Sangiran yang terbelah sisi utara dan selatan karena dilewati aliran Kali Cemoro yang mengalir dari Gunung Merapi menuju ke Bengawan Solo. Bagian utara termasuk wilayah Desa Krikilan, Sragen, sedangkan yang belahan selatan masuk Desa Krendowahono, Karanganyar.
Penelitian dalam rangka mencari fosil nenek moyang manusia di Sangiran sudah dimulai sejak 1893 oleh peneliti Eugene Dubois.Dia menemukan fosil manusia purba di Trinil, Ngawi, Jawa Timur, yang dinamakan Pithecanthropus Erectus, artinya manusia kera yang berjalan tegak.

Penelitian di Sangiran dilanjutkan kembali secara intensif sejak 1930  oleh J.P. van Es dan 1934 oleh GHR von Koenigswald.Tidak kurang dari seribu alat-alat dari batu buatan manusia yang pernah tinggal disini diketemukan.
Alat dari batuan kaldeson yang dipecahkan itu bisa dipergunakan untuk memotong, menyerut dan untuk meruncingkani tombak. Oleh von Koenigswald alat-alat itu disebut  alat serpih dari Sangiran –The Sangiran Flake Industry.
Meganthropus Paleojavanicus, manusia purba yang punya fosil rahang atas yang ukurannya besar diketemukan ditahun 1936. Selanjutnya ditahun 1937 diketemukan fosil manusia purba yang dinamakan Pithecanthropus Erectus. Penemuan spektakuler ini  melibatkan banyak peneliti kondang dari manca negara dan para ahli Indonesia seperti R.P. Soejono, Teuku Yacob, S.Sartono, Hari Widianto, dll.
Juga ikut terlibat berbagai lembaga peneliti seperti  American Museum of National History, Biologisch-Archaelogisch Institut, Groningen, Tokyo University, Padova University, National d”Histoire Naturelle, Paris, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Yogyakarta dll.

Pemerintah RI telah menetapkan daerah Sangiran seluas 56 km2 sebagai Daerah Cagar Budaya. Pada 5 Desember 1996, Situs Sangiran oleh Unesco dinyatakan sebagai Warisan Budaya Dunia , World Heritage List No. 593, dengan nama Sangiran Early Man Site, Situs  Hunian Manusia Purba Sangiran.
Menurut penelitian geologis, Situs Sangiran  sudah muncul 3( tiga) juta tahun lalu dan merupakan perbukitan dengan struktur kubah ditengahnya, disebut Sangiran Dome.
Sekitar 1.8 hingga 1 juta tahun lalu ,daerah Jawa Tengah dan Timur merupakan lembah ,yang sebelah selatan dibatasi Gunung Selatan, sebelah utara oleh Gunung Kendeng. Lembah itu sebagian besar berupa danau dan rawa-rawa. Disebelah timur lembah berupa lautan. Ditengah lembah ada gunung a.l. Gunung Lawu Purba dan Gunung Wilis.
Pada saat itulah mulai muncul kehidupan manusia purba disekitar rawa-rawa dan muara sungai Cemoro yang bersumber di Gunung Merapi. Homo Erectus yang dikenal sebagai Java Man tinggal disekitar sungai Cemoro sekarang dan kehidupannya berkembang terus dengan diketemukannya ribuan alat-alat batu.
Selain fosil manusia purba, juga diketemukan fosil-fosil binatang purba seperti : Gajah, Banteng, Kerbau, Rusa, Kuda Nil – hippopotamus dll.Kuda Nil Sangiran ini ukuran besar dan beratnya duakali lipat dari kuda Nil yang ada sekarang ini!
Temuan fosil manusia, binatang dan peralatan batu yang jumlahnya ribuan bisa dilihat di Musium Sangiran.
Perkembangan budaya dari manusia purba menjadi manusia modern berjalan dalam kurun waktu yang sangat lama. Ini adalah uraian dari segi ilmiah mengenai keberadaan orang Jawadan anak keturunannya yang menghuni pulau ini sejak dahulu kala.

Orang Jawa dari sudut pandang kebatinan

Pulau Jawa  mulai kelihatan dihuni manusia yang lebih maju peradabannya sejak 10.000.– sepuluh ribu tahun sebelum Masehi dan mulai agak ramai pada 3.000 –tigaribu tahun sebelum Masehi. Disaat itu kehidupan mulai mengelompok , sumber makanan mulai diperhatikan,  tanaman mulai diurusi, selanjutnya dibudidayakan dengan sederhana sawah yang dialiri air.Keberadaan lahan, air, bibit tanaman dan pakan tidak menjadi masalah, karena sumbernya kaya dan luas dan penghuni masih sangat sedikit.

Muncul nama anak benua Jawata, Kepulauan Sweta Dwipa, Nusantara dan Jawa Dwipa yang adalah pulau Jawa. Nama penghuni pulau Jawa adalah orang Jawa.

Dibumi Jawa ,nama itu punya arti dan maksud yang penting. Nama pasti mempunyai arti dan mengandung makna dan harapan. Misalnya orang tua yang menghendaki anaknya selalu selamat, maka anaknya dinamai Slamet atau Sugeng, atau Rahayu. Supaya anaknya bijak dinamai Wicaksono, ingin waskita dinamai Waskita. Ingin anak perempuan yang cantik bagai bidadari ,diberi nama seperti nama bidadari seperti Ratih, Nawangwulan, Laksmi dll. Ingin supaya anak laki-laki yang macho, berwatak satria, diberi nama Satria atau nama-nama satria dalam wayang seperti : Arjuna, Bimo, Sadewo dll.
Nama-nama tempat  dan rumah/gedung tentu diberi nama yang bagus, terutama bagus artinya, tetapi juga enak diucapkannya.Hal ini merupakan kebiasaan yang lain dengan orang Inggris misalnya ,yang mengatakan : What is in a name? Apa artinya sebuah nama?
Dibab Jawadwipa telah disebutkan bahwa wong atau tiyang Jawa artinya keturunan dewa.

Pangiwo dan Panengen

Dalam Kejawen ada istilah Pangiwo dan Panengen. Pangiwo artinya kiwo, sebelah kiri, tempat yang sepi, tempat nya suksma, alam Kadewatan. Hidupnya dinamakan Sang Hyang Nurcahyo, berupa sinar gemilang, masih berada dialam gaib, belum punya piranti untuk hidup didunia, karena tidak punya badan fisik.
Panengen  artinya sebelah kanan, tidak sepi, sudah mulai kelihatan. Ini perlambang kehidupan badan raga. Dimulai sejak berujud wiji, benih yang berada digua garba ibu, dalam pertapaan sembilan bulan mendapatkan sari makanan melalui usus yang berpusat dipusar ibu, siap muntuk lahir dan hidup didunia luar.

Tanah Jawa

Ada tanah Jawa atau tanah Jawi, maksudnya : ta- sira, kamu,anda ;nah dari mrenah artinya bertempat tinggal di Jawa atau Jawi – njawi artinya diluar, dijagat ini. Anda  sudah tidak tinggal lagi dialam gaib,alam kadewatan, alam suksma, kini kamu tinggal diluar, dijagat ini.
Jadi sebenarnya hidup manusia dibumi ini tidak memisahkan kehidupan suksmanya yang berasal dari alam gaib dan kehidupan raganya didunia ini. Suksma dan raga selalu melekat tak terpisahkan dalam diri seorang manusia.Persatuan suksma dan raga dalam keadaan sempurna, sinkron. Kalau satu hari ,raganya rusak, maka suksma akan kembali lagi  kealam asalnya, yang disebut alam suksma, alam gaib, alam kadewatan.
Jadi semakin terbuka jelas ajaran spiritual Jawa, bahwa suksma itu hidup langgeng, abadi, yang rusak itu raga. Oleh karena itu ada ungkapan kebatinan : Asal mula bali marang mula-mula, yang  artinya suksma, roh kembali kelam asalnya, ke haribaan Tuhan.
Orang Jawa memang senang mengungkap sesuatu dengan perlambang ,dengan simbol-simbol. Bagi mereka yang belum biasa, bisa terjebak dalam menangkap artinya, karena ditafsirkan secara harafiah.

Arti kata Jawa

Menurut Prof. Mr. Hardjono.almarhum , Guru Besar Universitas Gaja Mada,ditahun 1980-an mengatakan kepada penulis mengenai  arti Jawa atau Jawi dari sudut pandang kebatinan.Begini katanya : Dimas, banyak orang yang sebenarnya tidak mengerti arti kata Jawa atau Jawi. Ja itu artinya lahir dan wi artinya burung., jadi seperti burung, manusia itu harus melewati dua tahapan untuk menjadi manusia sempurna..Pertama terlahir sebagai telur, baru kemudian terbuka menjadi burung.  Beliau tidak mau menjelaskan artinya yang jelas, membiarkan penulis mencari sendiri.
Ditahun 1984, dalam kaitan mendalami ajaran Kejawen, penulis bertemu dengan seorang pinisepuh yang pengetahuan Kejawennya sangat mumpuni, namanya Bapak Drs.S. Prawirowardoyo, Kol.Purn.AD. Dari beliau mendapat penjelasan lagi tentang arti kata Jawa. Dikatakannya bahwa orang Jawa itu baru sempurna hidupnya, kalau sudah dilahirkan dua kali. Yaitu pertama lewat gua garba ibu dan kedua kalinya  setelah sempurna Ilmu Sejatinya.Penulis mengerti arti dari kalimat tersebut, tetapi tidak punya bayangan, bagaimana terjadi kelahiran kedua itu.  .

Jangan sekadar percaya

Beliau hanya tersenyum, tidak mau menjawab rasa penasaran saya dan berkata : Nak Mas, jangan begitu saja percaya kepada saya. Sebagai orang Jawa, Nak Mas harus mengalami sendiri pengalaman spiritual, sebelum percaya. Itu hukum yang berlaku didunia kebatinan/spiritual. Jadi jangan percaya kepada jarene, kata orang, tetapi harus mengalami sendiri!
Baru setelah sepuluh tahun dari pertemuan ini, saya baru mengerti dengan sesungguhnya ,apa yang dimaksud dengan “kelahiran kedua” oleh orang kebatinan.
Selain itu, para ahli kebatinan mengatakan bahwa orang Jawa itu artinya orang yang selalu manembah dan berbakti dengan tulus kepada Gusti, Tuhan.

Dari Segi Tata Krama

Dari segi tata krama, etiket pergaulan, orang Jawa itu artinya orang yang sopan . Orang yang santun disebut:  njawani, kalau tidak tahu sopan santun disebut: ora njawani.
Mengenai hal tata krama,tata susila dan budi pekerti karena menyangkut salah satu topik Kejawen yang penting, akan dibicarakan secara terpisah.

Tindakan Simbolis Orang Jawa

Dalam Tingkat Norma :
- Sungkem, tanda menghaturkan sembah
- Tepa Selira , saling menghormati, menghargai

Masyarakat Jawa secara terang-terangan tidak mengenal kasta. Namun tetap saja terdapat Pemilahan struktur sosial tersebut meski tidak tertulis. Hal itu  dilakukan mereka sendiri secara diam-diam, sehingga muncul hubungan sosial yang sedikit “kaku”. Karena harus memperhatikan norma-norma tertentu yang kita kenal sebagai “Budi Pekerti Jawa”.
Struktur sosial dalam masyarakat Jawa ini muncul karena pada awalnya, Jawa adalah sebuah kerajaan. Hierarki tertinggi ada pada raja, kemudian keluarganya, dan para pejabatnya.
Di kenal beberapa stratifikasi :

Priyayi  dan Wong Lumrah
Priyayi adalah kelompok masyarakat ningrat, yang memiliki hubungan darah atau  trah tertentu, yang ditandai dengan gelar kebangsawanan. Pada perkembangannya, golongan priyayi bukan dari trah bangsawan saja, terdapat pejabat/pegawai pemerintah yang mempunyai pekerjaan halus dan bagus
Sedangkan wong lumrah adalah mereka yang tidak punya kedudukan penting, atau mereka yang mengabdi kepada priyayi. Mereka mendapat penghidupan dari priyyai. Oleh sebab itu ada jarak antara priyayi dan wong lumrah yang didasari pada system hormat. System inilah yang membungkus budi pekerti Jawa yang amat kompleks

Wong Gedhe dan Wong Cilik
Wong gedhe merupakan sebutan untuk orang-orang yang dipandang memiliki kelebihan, dapat berupa jabatan, kekayaan, dan keahlian khusus yang tidak dimiliki wong cilik. Hingga seakan-akan ada hubungan yang mempertimbangkan system hormat antara keduanya. Wong gedhe sebagai pihak terhormat, dan wong cilik harus menghormat

Pinisepuh dan Kawula Mudha
Pinisepuh adalah orang-orang Jawa yang dianggap tua (dituakan) dimasyarakat. Mereka dihormati dan duduk dalam posisi tertentu dan tinggi. Sedang kawula muda, selalu duduk di bagian bawah. Posisi duduk semacam ini telah dimengerti dan diterima masyarakat  tanpa protes. Karena masing-masing pihak menggunakan rasa Jawa sehingga saling ambil posisi.

Santri dan Abangan
Santri adalah orang Jawa yang tekun menjalankan ibadah agamanya. Sedangkan abangan adalah kebalikan santri. Hubungan kedua golongan ini sebenarnya baik-baik saja, namun ada jarak tertentu, dan nampak bahwa posisi santri di atas abangan

Sedulur dan Wong liya
Sedulur adalah komunitas yang masih ada hubungan kekerabatan

Dalam masyarakat Jawa, ‘budi pekerti’ terkait erat dengan tata krama. “budi pekerti” merupakan ‘roh’ tata krama pergaulan, dapat dikatakan bahwa tata krama adalah tulang penggerak budi pekerti. Tata krama dan sopan santun adalah kebiasaan yang disepakati dalam lingkungan pergaulan. Kebiasaan ini telah berlangsung berulang-ulang, dan akhirnya melembaga menjadi suatu etika pergaulan.

Asal Usul Jawa Dwipa

Menurut Prof. Dr. RM. Ng. Poerbatjaraka,  Kapustakaan  Djawa,
Cerita asal-usul suku Jawa telah dibuat pada Jaman Puncak Kejayaan Majapahit, ± 1294-1478. yaitu dalam Kitab  Tantu Pangelaran, dikisahkan

“Batara Guru menciptakan sejodoh amnusia di tanah Jawa. Kemudian berkembang biak. Tetapi masih telanjang, belum dapat bertutur dan belum pandai emmbuat rumah. Maka diperintahkan beberapa dewa utnuk turun ke tanah Jawa. Guna memberi pelajaran kepada manusia agar pandai bicara, berpakaian, membuat rumah, alat-alat, dan sebagainya. Batara Wisnu menjadi raja pertama di tanah Jawa yang bernama Sang Kandiawan. Kemudian berputra Sang Mangukuhan, Sang Sandanggarba, Sang Katung-malaras, Sang Karung Kala, Sang Wretikandayun.

Menurut dongeng tersebut, asal usul manusia Jawa adalah keturunan Dewa. Dongeng ini dikaitkan dengan cerita pewayangan, dimana putra Batara Guru secara gilir, turun dari kahyangan menjadi raja-raja di tanah Jawa.
Cerita ini dapat dilihat pula dalam kitab  Pustaka Radja. Disebutkan bahwa setelah keturunan  Aji Saka lenyap (punah) th 101 Caka karena wabah kematian, maka tanah Jawa diperintah keturunan Dewa. Sebelum kedatangan Aji Saka, Sang Hyang Syiwa telah datang ke P. Jawa. Ia melihat pulau panjang penuh dengan tanaman jawawut, maka pulau ini dinamakan Jawa.
  Kisah asal usul pulau Jawa juga  tertulis dalam kitab Paramayoga karya R. Ng. Ranggawarsita, pujangga kenamaan Surakarta Hadiningrat.

“Hatta setelah sampai pada tahun Hindu dalam zaman Pancamakala, angka 768, tahun Adam angka 8154, tahun Surya, atau 5306 tahun bulan, maka Prabu Isaka Radja negeri Surati di Hindustan, yakni yang disebut oleh Aji  Saka, negaranya diserang musuh. Sang Prabu itu disuruhnya bertapa di sebuah Pulau yang masih kosong, terletak di sebelah tenggara tanah Hindi. Sang prabu itu berangkatlah ke pulau kosong itu, yakni pulau Jawa. Setibanya di Pulau Jawa, sang prabu lalu bernama Empu Sangkala.
Menurut tulisan C.C. Berg tersebut :
Dikisahkan bahwa Aji Saka adalah seorang pahlawan muda, datang dari negri asing (India) ke tanah Jawa. Ia mendapatkan negri ini dibawah perintah seorang raja pemakan daging manusia. Lalu Aji Saka menawarkan dirinya untuk dimakan raja, dengan syarat sebagai gantinya akan menerima sejengkal tanah seluas destarnya (kain untuk ikat kepala?).
Raja  pemakan manusia itu menerima syarat Aji Saka dengan senang hati. Ia terkejut, bahwa makin lama destar Aji Saka makin lebar dan akhirnya menutup seluruh wilayah kerajaan. Si Raja menerima kekalahannya dan mengundurkan diri, serta menyerahkan kekuasan kepad Aji Saka.

hana caraka               artinya:           ada abdi-abdi yang setia
data sawala                                       terlibat dalam perkelahian
padha jayanya                                   mereka sama-sama kuat
maga bathanga                                  dan telah menemui ajalnya

C.C. Berg menyamakan abjad Jawa dengan Latin, sbb:
            h, n, c, r, k, d, t, s, w, l, p, dh, j, ny, m, g, b, th, ng

menurut analisa Berg:
cerita Aji Saka memberitahukan fakta masuknya Hindu di tanah Jawa. Saka adalah perubahan dalam bahasa Jawa dari kata Sansekerta syaka, yang di India artinya bangsa Scyth. Kemudian dalam bahasa Jawa dikenal sebagai syakakala, lalu menjadi sengkala, yang berarti tahun Saka atau ‘saat syaka’. Ada hubungannya dengan candrasengkala.
Aji Saka artinya ‘raja saka’,  dipandang sebagai orang yang memperkenalkan tarikh Scyth di Jawa. Dengan kata lain yaitu orang yang hidup pada jaman permulaan peradaban dan mengakhiri zaman biadab.[5]
Tarikh Saka dimulai pada tahun 72 M. dan cerita Aji Saka ini hanya dongeng karya Ranggawarsita. Sebab nama Aji Saka tidak pernah ada dalam silsilah raja-raja Jawa.

Sejarah Kerajaan Jawa

Ketika jaman es belum mencair, Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sumatera dan Jawa, masih dalam satu daratan dengan Benua Asia. Bukti-bukti arkeologis jaman prasejarah menunjukkan bahwa suku-suku di daratan Sunda berhubungan erat dengan bangsa-bangsa di Indo Cina.
Kebudayan Kuno berlangsung ± 2500 SM. Kemudian muncul kebudayaan perunggu ± 1000 SM dengan ditemukannya benda-benda perunggu di papua, Sumatera, Nusatenggara, Bali, Sumbawa.
Zaman es berakhir.
Dunia mulai nampak bentuknya. Dataran berubah menjadi lautan dan selat. Muncul Pulau Sumatera, Semenanjung Malaka, Kalimantan, Jawa, dataran sahul di tiimur menjadi Papua.
Berdasar temuan fosil di lembah Bengawan Solo yaitu  Phythecanthropus Erectus manusia tertua yang pernah hidup di Pulau Jawa kira-kira satu juta tahun yang lalu.
Asal nama Pulau Jawa menurut pengembara Arab,Cina,India, Eropa :
 Abad ke-2 M, Claudius Ptolemaeus, ahli ilmu bumi Yunani
Ia menulis cerita tentang P. Jawa yang disebut Jabadiu. Pulau ini subur dan banyak mengandung emas. Diujung barat Jabadiu terdapat kota besar bernama Argure (kota perak). Ptolemaeus menyebut Jabadiu dengan nama lain : Jawa Dwipa (yaitu Pulau Jawa). Ia menulis, saat itu orang-orang Hindu sudah menguasai sebagian Jawa dan Sumatera dan memerintah sebagian penduduknya serta mengadakan asimilasi dengan penduduk asli.
Th 414 M,   Fa Hien pengembara Cina.
Ia meninggalkan Cina th 399 M  untuk mengunjungi 30 kota di India. Dalam perjalanan ke Ceylon-Cina th 414 M, kapalnya diserang badai hingga kehilangan arah. Tiga bulan berlayar, ia terdampar di pulau yang menurutnya bernama  Je-pho-thie. Ia berdiam di daerah itu sebelum kembali ke  tanah airnya. Menurutnya, telah banyak brahmana namun rakyat setempat belum banyak mengenal agama Budha. Menurut perkiraan, Je-pho-thie adalah dialek Cina untuk Jawa Dwipa
 Ilmuan Arab bernama Arjabhata  (lahir 476 M) menyusun buku  Ilmu Perbintangan
Ia menyebut  Jawa Koti, yaitu daerah di Jawa. Dalam bukunya ia menulis bahwa cerita-cerita perjalanan th 237 H (± th 815 M) telah dibukukan. Di dalamnya disebut tentang adanya kerajaan Hindu di pulau  Zabedj. Menurut lidah orang Arab, nama ini untuk menyebut Jawa
Pada abad ke-12 orang-orang Hindu dari India menyebutkan Jawa Dwipa.   Ketika itu, India bernama Jambu Dwipa. Pulau-pulau lain diberi nama sesuai dengan tanaman yang banyak tumbuh di tempat itu. saat itu, di Jawa banyak tumbuh jenis padi-padian yang dikenal dengan nama Jawawut, makanan rakyat penduduk setempat. Sehingga pulau ini dinamakan Jawa dari kata “Jawawut”

berbagai sumber
SHARE

Ramalan Jawa Dwipa

Ramalan Jawa Dwipa. Ramalan Yang Menguak Misteri Dan Sejarah Tentang Jawa Dwipa, Yang Dilihat Dari Berbagai Sudut Pandang, Baik Secara Catatan Sejarah, Mitos, Legenda Yang Terkait Dengan Jawa Dwipa. Tentu Ini Suatu Hal Yang Menarik Untuk Kita Bahas.

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Ramalan Blogger
    Ramalan Gratis