Asal Usul Sejarah Aksara Jawa
Aksara Jawa (atau dikenal dengan nama hanacaraka atau carakan ) adalah aksara jenis abugida turunan aksara Brahmi (yang merupakan turunan dari Assyiria) yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, Bahasa Makasar, (pasar), bahasa Sunda, dan bahasa Sasak. Bentuk aksara Jawa yang sekarang dipakai (modern) sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi atau dikenal dengan Aksara Jawa Kuno yang juga merupakan augida yang digunakan sekitar abad ke-8 – abad ke-16. Aksara ini juga memiliki kedekatan dengan aksara Bali.
Asal Usul Sejarah Aksara Jawa Lengkap
PERIODE HINDU - BUDHA
Tulisan Jawa dan Bali adalah varian modern dari aksara Kawi, salah satu aksara Brahmi hasil perkembangan aksara Pallawa yang berkembang di Jawa.
Aksara ini dulu digunakan terutama untuk menulis terjemahan Sansekerta, berbagai literatur masa itu juga ditulis dengan Kawi.
Tulisan ini kemudian bertransisi menjadi tulisan Jawa selama periode Hindu-Buddha.
Aksara Kawi dan Jawa sebenarnya mirip; keduanya memiliki ortografi yang sama, seperti ditulis tanpa spasi, bentuk pasangan untuk menulis klaster konsonan, dsb.
Perbedaan terletak pada bentuk hurufnya, namun pembagiannya tidak begitu jelas karena prasasti-prasasti masa itu cendrung sangat bervariasi dari satu daerah ke yang lain.
Aksara Kawi dan Jawa awal juga mempunyai aksara dasar (nglegena) yang lebih banyak, karena huruf murda serta mahaprana belum dibedakan seperti sekarang, dan merepresentasikan bunyi unik dalam Sansekerta.
Aksara Jawa pada masa ini disusun secara fonetis, berdasarkan pengaturan Panini, dan menjadi basis dalam penyusunan aksara Jawa dalam Unicode.
PERIODE ISLAM
Periode ini kurang lebih berlangsung dari zaman Kesultanan Demak hingga Pajang akhir, dan teks dari masa tersebut dapat diwakili dengan serat Suluk Wujil dan Serat Ajisaka.
Pada masa ini, diperkenalkan urutan pangram hanacaraka untuk memudahkan pengikatan 20 konsonan yang digunakan dalam bahasa Jawa.
Perlu diperhatikan bahwa aksara murda dan mahaprana tidak diikutsertakan dalam urutan tersebut.
Hal ini disebabkan karena huruf-huruf murda dan mahaprana merepresentasikan bunyi yang tidak ada dalam bahasa Jawa asli dan lebih banyak berfungsi dalam terjemahan Sansekerta, karena itu penggunaannya menurun semenjak perkenalan Islam.
Namun kedua jenis huruf tersebut masih dipertahankan untuk pengejaan.
Periode ini juga ditandai dengan ditemukannya aksara rekan untuk kata serapan bahasa Arab, yang mulai banyak digunakan sejalan dengan penyiaran Islam di Nusantara.
Pada abad 17, tulisan Jawa telah dikenal dengan nama Carakan.
REKAN
Kebanyakan bunyi yang tidak terdapat dalam bahasa Jawa asli ditulis dengan huruf yang bunyinya mendekati ditambah tanda cecak telu.
Huruf semacam ini disebut rekan atau rekaan, dan dapat dibagi menjadi dua jenis; rekan untuk menulis bunyi dari bahasa Arab, dan rekan untuk huruf latin dan bahasa-bahasa Eropa seperti bahasa Belanda.
Terdapat dua jenis rekan lainnya yang kurang dikenal, yakni rekan untuk bahasa Sunda dan bahasa Cina. Namun rekan untuk bahasa Cina sangat jarang ditemui, dan tidak diikut-sertakan dalam range Unicode.
LAINNYA
Aksara swara adalah huruf yang merepresentasikan sebuah bunyi vokal mandiri, dimana terdapat lima untuk vokal dasar, tiga untuk vokal panjang, dua untuk diftong, dan satu variasi kuno dimasukkan ke range Unicode.
Setiap hurufnya memiliki bentuk sandhangan untuk mengubah vokal inheren konsonan, dengan pengecualian sandhangan tarung, pêpêt dan tolong yang tidak mempunyai bentuk huruf mandiri.
Perlu diperhatikan bahwa huruf vokal mandiri dapat digantikan dengan aksara "ha" sebagai konsonan kosong, diikuti dengan tanda baca vokal yang sesuai.
Bentuk vokal mandiri seperti pada tabel dibawah hanya digunakan untuk menuliskan nama atau kata serapan, sementara untuk kata asli bahasa Jawa, digunakan aksara "ha". Sebagai contoh, anak (anak) ditulis dengan aksara "ha" (ꦲꦤꦏ꧀), begitu halnya iwa (ikan), dengan tambahan tanda baca vokal "i" (ꦲꦶꦮ). Sementara itu, nama seperti Ali (ꦄꦭꦶ) dan Irawan (ꦆꦫꦮꦤ꧀) ditulis dengan bentuk vokal mandiri seperti pada tabel dibawah.
Catatan:
Disebut sandhangan swara, tanda baca ini dipakai sebagai pengubah bunyi vokal dalam tulisan Jawa.
Selain vokal yang terdapat pada bentuk mandiri, terdapat beberapa sandhangan yang tidak mempunyai bentuk mandiri unik.
Sandhangan tersebut adalah tarung yang memperpanjang vokal, pepet untuk vokal /ə/, dan pepet-tarung yang digunakan dalam penulisan Sunda untuk vokal /ɤ/.
Tanpa sandhangan, sebuah konsonan dibaca dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/. Untuk mengetahui kapan kedua vokal tersebut digunakan, terdapat peraturan untuk menentukan vokal inheren yang dipakai sebuah konsonan:
ANGKA
Sistem angka Jawa mempunyai numeralnya sendiri, yang hanya terdiri dari angka 0–9 sebagai berikut:
Untuk menulis angka yang lebih besar dari 9, gabungkan dua angka atau lebih diatas seperti halnya angka Arab. Misal, 21 ditulis dengan menggabungkan 2 dan 1 menjadi; ꧒꧑. Dengan cara kerja yang sama, 90 ditulis dengan ꧙꧐.
Beberapa angka Jawa memiliki bentuk yang sangat mirip dengan karakter silabel Jawa, semisal ꧖ (6) dengan ꦌ (aksara e), dan ꧗ (7) dengan ꦭ (la). Untuk menghindari kerancuan, angka yang muncul dalam teks ditandai dengan tanda pada pangkat, yang ditulis sebelum dan setelah angka. Misal, "Selasa 19 Maret 2013" ditulis dengan:
ꦱꦼꦭꦱ ꧇꧑꧙꧇ ꦩꦉꦠ꧀ ꧇꧒꧐꧑꧓꧇
Di beberapa kasus, angka Arab menggantikan peran angka Jawa.
TANDA BACA
Dengan diperkenalkannya tulisan Jawa baru, tanda baca (pada) baru juga diperkenalkan. Tanda baca dapat dibagi menjadi dua: umum dan khusus.
1. Koma tidak ditulis setelah kata yang berujung pangkon.
2. Koma menjadi titik apabila tetap ditulis setelah pangkon.
Terdapat juga beberapa tanda baca yang tidak dikategorikan dalam dua pada tersebut:
ꦥꦢꦮꦸ꧞꧞꧞ꦭꦸꦲꦸꦂ
Pada wu---luhur
Penulis dari Surakarta akan menulis:
ꦥꦢꦮꦸ꧟꧟꧟ꦭꦸꦲꦸꦂ
Pangrangkep pada dasarnya adalah angka Arab dua (٢) yang menandakan kata berulang. Dari segi bentuk, angka arab dua (٢) dan pangrangkep (ꧏ) sama persis. Kedua karakter ini dibedakan agar tidak terjadi rendering penulisan dwi-arah, mengingat Jawa ditulis dari kiri ke kanan dan Arab ditulis dari kanan ke kiri. Menariknya, metode menggunakan angka untuk menandakan kata berulang masih sering terlihat dalam bahasa tertulis masa kini, seperti "hati2" atau "anak2". Metode ini bahkan masih resmi pada ejaan Republik hingga akhirnya dihilangkan pada EYD tahun 1972.
URUTAN HURUF
Urutan paling umum dalam aksara Jawa adalah urutan hanacaraka, dimana 20 huruf dasar disusun membentuk puisi atau pangram sempurna, sebagai berikut;
yang penerjemahannya sebagai berikut:
Hana caraka Terdapat dua utusan/pembawa pesan
data sawala Yang berbeda pendapat
padha jayanya (Mereka berdua) sama kuat(jaya)nya
maga bathanga Inilah mayat mereka.
Puisi ini menceritakan tentang tokoh legendaris Aji Saka dan awal mula terciptanya aksara Jawa[4].
Aksara Jawa juga dapat disusun secara fonetis mengikuti kaidah Panini. Urutan ini dipakai untuk mengatur aksara Jawa di periode Hindu-Buddha, ketika aksara tersebut sering dipakai dalam terjemahan Sansekerta, dan sekarang masih dipakai sebagai urutan aksara Jawa dalam Unicode. Dengan urutan ini, setiap huruf dapat mewakili bunyi unik yang digunakan dalam bahasa Jawa kuno. bahasa Jawa modern memiliki bunyi yang lebih sedikit, terutama konsonan teraspirasi, karena itu beberapa huruf tidak dipakai lagi dan beberapa digunakan sebagai huruf kapital (lihat bagian murda dan mahaprana).
GAYA PENULISAN (GAGRAG)
Berdasarkan Bentuk aksara Penulisan aksara Jawa dibagi menjadi 3 yakni:
Berdasarkan Daerah Asal Pujangga/Manuskrip, dikenal gaya penulisan aksara Jawa :
3. Lainnya
4. Aksara Bali
Pada pertengahan tahun 1993 dan Maret 1998, Jeroen Hellingman mengajukan proposal untuk mendaftarkan aksara Jawa ke Unicode. Selanjutnya sekitar 2002, Jason Glavy membuat "font" aksara Jawa yang diedarkan secara bebas dan juga mengajukan proposal ke Unicode. Namun kedua proposal ini tidak diterima, dan baru sejak awal 2005 dilakukan usaha bertahap yang nyata untuk mengintegrasikan aksara Jawa ke dalam Unicode setelah Michael Everson membuat suatu code table sementara untuk didaftarkan. Kelambatan ini terjadi karena kurangnya dukungan dari masyarakat pengguna aksara Jawa.
Pada Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV 2006, mulai terhimpun dukungan dari masyarakat pengguna serta usaha untuk meregistrasi aksara Jawa dalam standar Unicode mulai intensif dilaksanakan. Tim khusus Registrasi Unicode aksara Jawa berhasil dibentuk dengan dikomandani oleh Hadiwaratama/Hadi Waratama (Bandung), Ki Sudarto HS/Ki Demang Sokowaten (Jakarta) dan Ki Bagiono Sumbogo/Djokosumbogo (Jakarta). Kerja keras selama kurang lebih 3 tahun ini akhirnya membuahkan hasil dengan telah diterimanya aksara Jawa sebagai aksara yang diakui dalam standar Unicode versi 5.2 (tergabung dalam Amandemen 6) yang keluar pada tanggal 1 Oktober 2009.Dalam pernyataan resmi di situs Unicode, disebutkan orang-orang yang terlibat dalam upaya penstandaran aksara Jawa ini adalah: Bagiono Djokosumbogo, Michael Everson (teknis), Hadiwaratama (ketua tim), Donny Harimurti, Sutadi Purnadipura, dan Ki Demang Sokowaten.
Sebenarnya dalam aksara-aksara Nusantara, aksara Jawa merupakan yang ke-5 untuk diakui Unicode, setelah aksara Bugis, aksara Bali (keduanya sejak 5.0), aksara Rejang dan aksara Sunda (keduanya sejak 5.1) telah diakui. Dibandingkan dengan aksara Bali (aksara Nusantara lain dengan kompleksitas yang sama dilihat dari segi rendering) aksara Jawa perlu waktu pengembangan yang lebih lama hingga akhirnya diterima dalam Unicode.
Aksara Jawa (atau dikenal dengan nama hanacaraka atau carakan ) adalah aksara jenis abugida turunan aksara Brahmi (yang merupakan turunan dari Assyiria) yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, Bahasa Makasar, (pasar), bahasa Sunda, dan bahasa Sasak. Bentuk aksara Jawa yang sekarang dipakai (modern) sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi atau dikenal dengan Aksara Jawa Kuno yang juga merupakan augida yang digunakan sekitar abad ke-8 – abad ke-16. Aksara ini juga memiliki kedekatan dengan aksara Bali.
Asal Usul Sejarah Aksara Jawa Lengkap
PERIODE HINDU - BUDHA
Tulisan Jawa dan Bali adalah varian modern dari aksara Kawi, salah satu aksara Brahmi hasil perkembangan aksara Pallawa yang berkembang di Jawa.
Aksara ini dulu digunakan terutama untuk menulis terjemahan Sansekerta, berbagai literatur masa itu juga ditulis dengan Kawi.
Tulisan ini kemudian bertransisi menjadi tulisan Jawa selama periode Hindu-Buddha.
Aksara Kawi dan Jawa sebenarnya mirip; keduanya memiliki ortografi yang sama, seperti ditulis tanpa spasi, bentuk pasangan untuk menulis klaster konsonan, dsb.
Perbedaan terletak pada bentuk hurufnya, namun pembagiannya tidak begitu jelas karena prasasti-prasasti masa itu cendrung sangat bervariasi dari satu daerah ke yang lain.
Aksara Kawi dan Jawa awal juga mempunyai aksara dasar (nglegena) yang lebih banyak, karena huruf murda serta mahaprana belum dibedakan seperti sekarang, dan merepresentasikan bunyi unik dalam Sansekerta.
Aksara Jawa pada masa ini disusun secara fonetis, berdasarkan pengaturan Panini, dan menjadi basis dalam penyusunan aksara Jawa dalam Unicode.
PERIODE ISLAM
Periode ini kurang lebih berlangsung dari zaman Kesultanan Demak hingga Pajang akhir, dan teks dari masa tersebut dapat diwakili dengan serat Suluk Wujil dan Serat Ajisaka.
Pada masa ini, diperkenalkan urutan pangram hanacaraka untuk memudahkan pengikatan 20 konsonan yang digunakan dalam bahasa Jawa.
Perlu diperhatikan bahwa aksara murda dan mahaprana tidak diikutsertakan dalam urutan tersebut.
Hal ini disebabkan karena huruf-huruf murda dan mahaprana merepresentasikan bunyi yang tidak ada dalam bahasa Jawa asli dan lebih banyak berfungsi dalam terjemahan Sansekerta, karena itu penggunaannya menurun semenjak perkenalan Islam.
Namun kedua jenis huruf tersebut masih dipertahankan untuk pengejaan.
Periode ini juga ditandai dengan ditemukannya aksara rekan untuk kata serapan bahasa Arab, yang mulai banyak digunakan sejalan dengan penyiaran Islam di Nusantara.
Pada abad 17, tulisan Jawa telah dikenal dengan nama Carakan.
Periode
ini adalah periode ketika aksara Jawa berkembang pada dekade awal
perkembangan Islam di Jawa, dan campur tangan bangsa asing (pemerintah
Kolonial Hindia Belanda) belum mendominasi ranah politik dan kekuasaan
di Jawa.
Masa ini berlangsung kurang lebih jaman Demak – akhir Pajang, dan tulisan dalam periode ini diwakili tata tulis aksara Jawa yang terdapat pada teks serat Suluk Wujil dan Serat Ajisaka.
Fragmen tersebut terdiri dari 4 baris masing‐masing terdiri dari 5 aksara, menyerupai metrum atau puisi/Sekar Kawi:
Masa ini berlangsung kurang lebih jaman Demak – akhir Pajang, dan tulisan dalam periode ini diwakili tata tulis aksara Jawa yang terdapat pada teks serat Suluk Wujil dan Serat Ajisaka.
Fragmen tersebut terdiri dari 4 baris masing‐masing terdiri dari 5 aksara, menyerupai metrum atau puisi/Sekar Kawi:
- hana caraka (ana utusan)
- data (sabanjuré) sawala (= suwala –kêrêngan)
- pada jayanya (babag kekuwatané)
- maga (ma‐ang‐ga) batanga (bangké) = mangawak bangké = palastra !
Dalam
periode ini, pengertian aksara Murda masih belum disamakan dengan huruf
kapital seperti halnya dalam tulisan Latin, namun keberadaan aksara
Murda yang dipisahkan dari susunan huruf Jawa dasar (nglegana)
karena merupakan aksara lama yang keberadaannya tetap dipertahankan, dan penggunaan aksara ini masih sama seperti pada aksara Jawa – Hindu.
karena merupakan aksara lama yang keberadaannya tetap dipertahankan, dan penggunaan aksara ini masih sama seperti pada aksara Jawa – Hindu.
Kemudian
periode ini juga ditandai dengan digunakannya aksara rekan untuk
menyesuaikan penulisan kata-kata Arab yang sudah mulai dikenal
masyarakat Jawa kala itu dengan semakin intensifnya dakwah Islam di
tanah Jawa.
PERIODE KOLONIAL
Periode
ini adalah periode ketika aksara Jawa berkembang pada zaman pemerintah
Kolonial Hindia Belanda berkuasa atas tanah Jawa, yang diwakili tata
tulis aksara Jawa keluaran ejaan Sriwedari yang terdapat pada teks-teks
Jawa yang ditulis sebelum adanya tata eja aksara Jawa Kongres Bahasa
Jawa II Malang (1996).
Perbedaan
yang paling kentara adalah pemakaian aksara Murda pada periode ini,
yang walaupun sebagian masih sama perlakuannya untuk aksara murda
seperti pada periode-periode sebelumnya, namun sebagian sudah berubah
fungsi sebagai huruf kapital layaknya dalam aksara Latin.
Penggunaan (pengejaan) aksara Jawa pertama kali diLokakaryakan
pada tahun 1926 untuk menyeragamkan tata cara penulisan menggunakan
aksara ini, sejalan dengan makin meningkatnya volume cetakan menggunakan
aksara ini, meskipun pada saat yang sama penggunaan huruf arab pegon dan huruf Latin bagi teks-teks berbahasa Jawa juga meningkat frekuensinya.
Pertemuan pertama ini menghasilkan Wewaton Sriwedari ("Ketetapan Sriwedari"), yang memberi landasan dasar bagi pengejaan tulisan.
Nama Sriwedari digunakan karena lokakarya itu berlangsung di Sriwedari, Surakarta.
Salah satu perubahan yang penting adalah pengurangan penggunaan taling-tarung bagi bunyi /o/ (O Jawa).
Alih-alih menuliskan "Ronggawarsita" (bentuk ini banyak dipakai pada naskah-naskah abad ke-19), dengan ejaan baru penulisan menjadi "Ranggawarsita", mengurangi penggunaan taling-tarung.
Pertemuan pertama ini menghasilkan Wewaton Sriwedari ("Ketetapan Sriwedari"), yang memberi landasan dasar bagi pengejaan tulisan.
Nama Sriwedari digunakan karena lokakarya itu berlangsung di Sriwedari, Surakarta.
Salah satu perubahan yang penting adalah pengurangan penggunaan taling-tarung bagi bunyi /o/ (O Jawa).
Alih-alih menuliskan "Ronggawarsita" (bentuk ini banyak dipakai pada naskah-naskah abad ke-19), dengan ejaan baru penulisan menjadi "Ranggawarsita", mengurangi penggunaan taling-tarung.
AKSARA JAWA MODERN
Prasasti modern dengan aksara Latin(bahasa Portugis)
dan aksara Hanacaraka/Jawa modern (bahasa Jawa). Prasasti dibuat untuk memperingati pemugaran Taman Sari di komplek Kraton Yogyakarta.
Periode ini adalah periode perkembangan aksara Jawa setelah zaman Kemerdekaan INdonesia hingga sekarang,
antara lain diterbitkannya buku Karti Basa oleh Kementrian Pengadjaran, Pendidikan dan Keboedajaan pada tahun 1946 yang berisi Patokan Panoelise Temboeng Djawa nganggo Aksara Djawa sarta Angka (Pedoman Penulisan Kata Jawa dengan Aksara Jawa serta Angka),
serta Patokan Panoelise Temboeng Djawa nganggo Aksara Latin (Pedoman Penulisan Kata Jawa dengan Huruf Latin), yang kemudian diterbitkan terpisah sebagaiTatanan Njerat Basa Djawi oleh Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementerian P.P. dan K. Jogjakarta pada tahun 1955, yang telah disesuaikan dengan Ejaan Suwandi.
antara lain diterbitkannya buku Karti Basa oleh Kementrian Pengadjaran, Pendidikan dan Keboedajaan pada tahun 1946 yang berisi Patokan Panoelise Temboeng Djawa nganggo Aksara Djawa sarta Angka (Pedoman Penulisan Kata Jawa dengan Aksara Jawa serta Angka),
serta Patokan Panoelise Temboeng Djawa nganggo Aksara Latin (Pedoman Penulisan Kata Jawa dengan Huruf Latin), yang kemudian diterbitkan terpisah sebagaiTatanan Njerat Basa Djawi oleh Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementerian P.P. dan K. Jogjakarta pada tahun 1955, yang telah disesuaikan dengan Ejaan Suwandi.
Kemudian,
untuk menindaklanjuti keputusan Kongres Bahasa Jawa I di Semarang pada
tanggal 15-20 Juli 1991, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi DIY
pada tahun anggaran 1992/1993 memutuskan ditetapkan penyelenggaraan
kegiatan penyusunan pedoman penulisan aksara Jawa.
Masalah yang dibahas dalam pedoman tersebut antara lain penyesuaian penulisan bahasa Jawa dengan ahara Jawa dan aksara Latin, penulisan kata-kata serapan dari bahasa serumpun dan bahasa asing dengan aksara Jawa, penulisan bunyi f dan v, penulisan bunyi yang ucapannya bervariasi, dan penulisan singkatan kata.
Masalah yang dibahas dalam pedoman tersebut antara lain penyesuaian penulisan bahasa Jawa dengan ahara Jawa dan aksara Latin, penulisan kata-kata serapan dari bahasa serumpun dan bahasa asing dengan aksara Jawa, penulisan bunyi f dan v, penulisan bunyi yang ucapannya bervariasi, dan penulisan singkatan kata.
Pada
Kongres Bahasa Jawa II 1996 dikeluarkanlah Surat Kesepakatan Bersama
(SKB) tiga gubernur (perda Jawa Tengah, No. 430/76/1996, DI Yogyakarta:
No. 214/119/5280/1996, dan Jawa Timur No. 430/5052/0311/1996) pada tahun
1996 yang berusaha menyelaraskan tata cara penulisan yang diajarkan di
sekolah-sekolah di ketiga provinsi tersebut.
Pada
tanggal 17 dan 18 Mei 1996 para ahli bahasa Jawa dari Provinsi DIY,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur berkumpul di Yogyakarta dan menghasilkan
buku Pedoman Penulisan Aksara Jawa yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Nusatama.
Perbedaan yang paling kentara dalam pedoman yang baru ini adalah pemakaian aksara murda sudah dianggap seperti layaknya huruf kapital seperti pada penggunaan huruf kapital dalam aksara Latin, tanpa mengindahkan tradisi lama yaitu hadirnya aksara Murda sebagai pendamping penulisan kata Jawa Kuna – Pertengahan.
Perbedaan yang paling kentara dalam pedoman yang baru ini adalah pemakaian aksara murda sudah dianggap seperti layaknya huruf kapital seperti pada penggunaan huruf kapital dalam aksara Latin, tanpa mengindahkan tradisi lama yaitu hadirnya aksara Murda sebagai pendamping penulisan kata Jawa Kuna – Pertengahan.
Tonggak perubahan lainnya adalah aturan yang dikeluarkan pada Kongres Basa Jawa III, 15-21 Juli 2001 di Yogyakarta.
Perubahan yang dihasilkan kongres ini adalah beberapa penyederhanaan penulisan bentuk-bentuk gabungan (kata dasar + imbuhan), dan KBJ IV yang membuka jalan bagi dimasukkannya aksara Jawa ke Unicode.
BENTUK AKSARA
Tulisan jawa adalah sebuah abugida.
Setiap huruf konsonannya memiliki vokal inheren /a/ atau /ɔ/ dalam posisi terbuka, yang diubah dengan penempatan tanda baca tertentu, seperti halnya huruf Arab.
Namun berbeda dengan huruf Arab, tanda baca vokal wajib ditulis jika diperlukan.
Perlu diperhatikan bahwa tulisan Arab aslinya bersifat abjad, yakni hanya memiliki konsonan saja.
Tanda baca dalam tulisan Arab hanya dipakai untuk teks penting, dan pengguna aslinya dapat membaca tulisan arab tanpa tanda baca.
Setiap huruf konsonan dalam aksara Jawa memiliki bentuk subskrip, disebut pasangan, untuk membentuk klaster konsonan.
Beberapa huruf memiliki bentuk 'kapital', namun huruf ini hanya digunakan untuk nama orang atau tempat, tidak untuk awal sebuah kalimat.
Terdapat sejumlah huruf yang diadaptasikan untuk kata serapan dan bunyi asing yang tidak terdapat dalam bahasa Jawa.
Terdapat pula angka, sejumlah tanda baca yang berhubungan dengan surat-menyurat, tembang/puisi, serta tanda memulasi paragraf, koma, titik, kurung, kutip dan penanda angka.
Huruf Jawa ditulis miring ke kanan dan tanpa spasi, karena itu pembaca harus mengenal tulisan dan bahasa Jawa untuk mengidentifikasikan batas antar kata.
KONSONAN DASAR (AKSAR NGLEGENA)
Untuk menulis bahasa Jawa modern, digunakan 20 konsonan dasar yang disebut sebagai aksara nglegena.
Namun untuk menulis bahasa Jawa Kuno, digunakan 33 konsonan dasar.
Huruf-huruf tambahan ini merepresentasikan suara yang tidak dipakai lagi dalam bahasa Jawa modern, yang kemudian digunakan sebagai huruf 'kapital' dalam ortografi kontemporer.
Huruf "ha" dapat merepresentasikan vokal kosong, yang digunakan dengan tanda baca untuk membentuk huruf vokal independen.
PASANGAN
Ketika sebuah konsonan kosong (konsonan yang vokal inherennya ditekan virama) muncul ditengah kalimat, tanda baca pangkon untuk menekan vokal inheren tidak digunakan.
Namun huruf setelah konsonan kosong tersebut berubah menjadi bentuk subskrip yang bernama pasangan.
Setiap huruf konsonan Jawa memiliki pasangan, dengan bentuk dan penataan yang beragam.
Namun umumnya, pasangan berada dibawah garis penulisan dan memiliki bentuk yang berbeda dari konsonan dasarnya.
Pasangan dapat digabungkan dengan maksimum dua tanda baca menyambung untuk membentuk klaster konsonan.
Beberapa pasangan perlu disambungkan dengan huruf dasar (dengan cara yang sama seperti tanda baca suku) seperti na, wa, dan nya, beberapa ditulis segaris dengan huruf dasar, seperti pa, sa, dan ha.
Pasangan ka, ta, dan la hanya memiliki bentuk unik apabila ditulis tanpa tanda baca menyambung.
Ketika ditulis dengan suku atau pengkal semisal, bentuk kedua huruf tersebut menjadi sama dengan huruf dasarnya, namun tetap ditulis dibawah garis.
Huruf seperti ya dan ra memiliki bentuk pasangan yang persis sama seperti huruf dasarnya.
TANDA BACA KONSONAN
Terdapat dua macam tanda baca konsonan, yaitu tanda baca pengakhir konsonan (sandhangan panyigeging wanda) dan tanda baca penyisip konsonan (sandhangan wyanjana).
Tanda Baca Pengakhir Konsonan
Catatan:
Catatan:
Beberapa huruf Jawa memiliki bentuk murda yang hampir setara dengan huruf kapital pada huruf latin.
Namun murda hanya digunakan untuk menuliskan nama gelar, nama diri, nama geografi, atau nama lembaga, tidak untuk awal kalimat.
Apabila sebuah nama ingin dikapitalisasi, suku kata pertamanya ditulis dengan aksara murda.
Apabila tidak tersedia aksara murda untuk suku pertama, maka suku kata kedua yang dikapitalisasi.
Apabila tidak tersedia aksara murda untuk suku kata kedua, maka suku kata ketiga yang dikapitalisasi, dan seterusnya.
Jika diperlukan dan hurufnya tersedia, seluruh nama tersebut dapat ditulis dengan murda.
Mahaprana berarti "dibaca dengan hembusan besar". Huruf-huruf ini merepresentasikan bunyi yang digunakan dalam bahasa Jawa Kuno, namun tidak lagi dipakai dalam bahasa Jawa modern. Karena ortografi yang tidak terdefinisi dengan baik, sebagian huruf mahaprana kadang dianggap sebagai huruf murda.
Perubahan yang dihasilkan kongres ini adalah beberapa penyederhanaan penulisan bentuk-bentuk gabungan (kata dasar + imbuhan), dan KBJ IV yang membuka jalan bagi dimasukkannya aksara Jawa ke Unicode.
BENTUK AKSARA
Tulisan jawa adalah sebuah abugida.
Setiap huruf konsonannya memiliki vokal inheren /a/ atau /ɔ/ dalam posisi terbuka, yang diubah dengan penempatan tanda baca tertentu, seperti halnya huruf Arab.
Namun berbeda dengan huruf Arab, tanda baca vokal wajib ditulis jika diperlukan.
Perlu diperhatikan bahwa tulisan Arab aslinya bersifat abjad, yakni hanya memiliki konsonan saja.
Tanda baca dalam tulisan Arab hanya dipakai untuk teks penting, dan pengguna aslinya dapat membaca tulisan arab tanpa tanda baca.
Setiap huruf konsonan dalam aksara Jawa memiliki bentuk subskrip, disebut pasangan, untuk membentuk klaster konsonan.
Beberapa huruf memiliki bentuk 'kapital', namun huruf ini hanya digunakan untuk nama orang atau tempat, tidak untuk awal sebuah kalimat.
Terdapat sejumlah huruf yang diadaptasikan untuk kata serapan dan bunyi asing yang tidak terdapat dalam bahasa Jawa.
Terdapat pula angka, sejumlah tanda baca yang berhubungan dengan surat-menyurat, tembang/puisi, serta tanda memulasi paragraf, koma, titik, kurung, kutip dan penanda angka.
Huruf Jawa ditulis miring ke kanan dan tanpa spasi, karena itu pembaca harus mengenal tulisan dan bahasa Jawa untuk mengidentifikasikan batas antar kata.
KONSONAN DASAR (AKSAR NGLEGENA)
Untuk menulis bahasa Jawa modern, digunakan 20 konsonan dasar yang disebut sebagai aksara nglegena.
Namun untuk menulis bahasa Jawa Kuno, digunakan 33 konsonan dasar.
Huruf-huruf tambahan ini merepresentasikan suara yang tidak dipakai lagi dalam bahasa Jawa modern, yang kemudian digunakan sebagai huruf 'kapital' dalam ortografi kontemporer.
ha | na | ca | ra | ka |
/hɔ/ | /nɔ/ | /tʃɔ/ | /ɽɔ/ | /kɔ/ |
ꦲ | ꦤ | ꦕ | ꦫ | ꦏ |
da | ta | sa | wa | la |
/dɔ/ | /tɔ/ | /sɔ/ | /wɔ/ | /ɭɔ/ |
ꦢ | ꦠ | ꦱ | ꦮ | ꦭ |
pa | dha | ja | ya | nya |
/pɔ/ | /ɖɔ/ | /dʒɔ/ | /jɔ/ | /ɲɔ/ |
ꦥ | ꦝ | ꦗ | ꦪ | ꦚ |
ma | ga | ba | tha | nga |
/mɔ/ | /gɔ/ | /bɔ/ | /ʈɔ/ | /ŋɔ/ |
ꦩ | ꦒ | ꦧ | ꦛ | ꦔ |
PASANGAN
Ketika sebuah konsonan kosong (konsonan yang vokal inherennya ditekan virama) muncul ditengah kalimat, tanda baca pangkon untuk menekan vokal inheren tidak digunakan.
Namun huruf setelah konsonan kosong tersebut berubah menjadi bentuk subskrip yang bernama pasangan.
Setiap huruf konsonan Jawa memiliki pasangan, dengan bentuk dan penataan yang beragam.
Namun umumnya, pasangan berada dibawah garis penulisan dan memiliki bentuk yang berbeda dari konsonan dasarnya.
Pasangan dapat digabungkan dengan maksimum dua tanda baca menyambung untuk membentuk klaster konsonan.
Beberapa pasangan perlu disambungkan dengan huruf dasar (dengan cara yang sama seperti tanda baca suku) seperti na, wa, dan nya, beberapa ditulis segaris dengan huruf dasar, seperti pa, sa, dan ha.
Pasangan ka, ta, dan la hanya memiliki bentuk unik apabila ditulis tanpa tanda baca menyambung.
Ketika ditulis dengan suku atau pengkal semisal, bentuk kedua huruf tersebut menjadi sama dengan huruf dasarnya, namun tetap ditulis dibawah garis.
Huruf seperti ya dan ra memiliki bentuk pasangan yang persis sama seperti huruf dasarnya.
ha | na | ca | ra | ka |
da | ta | sa | wa | la |
pa | dha | ja | ya | nya |
ma | ga | ba | tha | nga |
TANDA BACA KONSONAN
Terdapat dua macam tanda baca konsonan, yaitu tanda baca pengakhir konsonan (sandhangan panyigeging wanda) dan tanda baca penyisip konsonan (sandhangan wyanjana).
Tanda Baca Pengakhir Konsonan
Panyangga | Cêcak | Wingyan | Layar | Pangkon |
kaṃ | kang | kah | kar | -k |
ꦏꦀ | ꦏꦁ | ꦏꦃ | ꦏꦂ | ꦏ꧀ |
Catatan:
- Panyangga biasanya hanya digunakan untuk silabel suci Hindu, Om.
- Pangkon digunakan untuk menghilangkan vokal inheren suatu vokal, namun hanya digunakan pada akhir kalimat. Apabila sebuah konsonan tanpa vokal muncul ditengah kalimat, digunakan bentuk pasangan (lihat bagian pasangan).
Cakra | Keret | Pengkal |
kra | kre | kya |
ꦏꦽ | ꦏꦾ |
- Bentuk cakra yang ditunjukkan disini sebenarnya adalah bentuk ligatur yang telah menjadi standar.
- Cakra dan pengkal dapat digabungkan dengan tanda baca suku.
Beberapa huruf Jawa memiliki bentuk murda yang hampir setara dengan huruf kapital pada huruf latin.
Namun murda hanya digunakan untuk menuliskan nama gelar, nama diri, nama geografi, atau nama lembaga, tidak untuk awal kalimat.
Apabila sebuah nama ingin dikapitalisasi, suku kata pertamanya ditulis dengan aksara murda.
Apabila tidak tersedia aksara murda untuk suku pertama, maka suku kata kedua yang dikapitalisasi.
Apabila tidak tersedia aksara murda untuk suku kata kedua, maka suku kata ketiga yang dikapitalisasi, dan seterusnya.
Jika diperlukan dan hurufnya tersedia, seluruh nama tersebut dapat ditulis dengan murda.
Huruf dasar | Pasangan | Font | Nama |
---|---|---|---|
ꦟ | Na murda | ||
ꦖ | Ca Murda | ||
ꦑ | Ka murda | ||
ꦡ | Ta murda | ||
ꦯ | Sa murda | ||
ꦦ | Pa murda | ||
ꦘ | Nya murda | ||
ꦓ | Ga murda | ||
ꦨ | Ba murda |
Huruf dasar | Pasangan | Font | Nama |
---|---|---|---|
ꦰ | Sa mahaprana | ||
ꦞ | Dha mahaprana | ||
ꦙ | Ja mahaprana | ||
ꦜ | Tha mahaprana |
Kebanyakan bunyi yang tidak terdapat dalam bahasa Jawa asli ditulis dengan huruf yang bunyinya mendekati ditambah tanda cecak telu.
Huruf semacam ini disebut rekan atau rekaan, dan dapat dibagi menjadi dua jenis; rekan untuk menulis bunyi dari bahasa Arab, dan rekan untuk huruf latin dan bahasa-bahasa Eropa seperti bahasa Belanda.
Terdapat dua jenis rekan lainnya yang kurang dikenal, yakni rekan untuk bahasa Sunda dan bahasa Cina. Namun rekan untuk bahasa Cina sangat jarang ditemui, dan tidak diikut-sertakan dalam range Unicode.
ꦥ꦳ | ꦐ | ꦮ꦳ | ꦗ꦳ |
fa | qa | va | za |
fa | qa | va | za |
ꦱ꦳ | ꦲ꦳ | ꦏ꦳ | ꦢ꦳ | ꦗ꦳ | ꦰ꦳ | ꦝ꦳ | ꦛ꦳ | ꦘ꦳ | ꦔ꦳ | ꦒ꦳ | ꦥ꦳ | ꦐ |
tsa | ḥa | kha | dza | za | ṣa | ḍa | ṭa | ẓa | a' | gha | fa | qa |
θa | ħa | xa | ða | za | sˤa | ðˤa | tˤa | dˤa | ʔ | ɣa | fa | qa |
ꦉꦴ | ꦋ | |
nya | reu | leu |
ɳa | rɤ | lɤ |
the | se | nie | hwe | yo | syo |
LAINNYA
Basic letter | Pasangan | Font | Nama |
---|---|---|---|
ꦬ | Ra agung | ||
ꦉ | Pa cerek | ||
ꦊ | Nga lelet |
- Ra agung digunakan untuk menulis nama orang yang dihormati, layaknya huruf murda. Namun huruf ini berada dalam kategorinya sendiri, dan tidak dilabeli murda.
- Pa cerek merepresentasikan silabel re, dan menggantikan setiap kombinasi ra + pepet.
- Nga lelet merepresentasikan silabel le, dan menggantikan setiap kombinasi la + pepet.
Aksara swara adalah huruf yang merepresentasikan sebuah bunyi vokal mandiri, dimana terdapat lima untuk vokal dasar, tiga untuk vokal panjang, dua untuk diftong, dan satu variasi kuno dimasukkan ke range Unicode.
Setiap hurufnya memiliki bentuk sandhangan untuk mengubah vokal inheren konsonan, dengan pengecualian sandhangan tarung, pêpêt dan tolong yang tidak mempunyai bentuk huruf mandiri.
Perlu diperhatikan bahwa huruf vokal mandiri dapat digantikan dengan aksara "ha" sebagai konsonan kosong, diikuti dengan tanda baca vokal yang sesuai.
Bentuk vokal mandiri seperti pada tabel dibawah hanya digunakan untuk menuliskan nama atau kata serapan, sementara untuk kata asli bahasa Jawa, digunakan aksara "ha". Sebagai contoh, anak (anak) ditulis dengan aksara "ha" (ꦲꦤꦏ꧀), begitu halnya iwa (ikan), dengan tambahan tanda baca vokal "i" (ꦲꦶꦮ). Sementara itu, nama seperti Ali (ꦄꦭꦶ) dan Irawan (ꦆꦫꦮꦤ꧀) ditulis dengan bentuk vokal mandiri seperti pada tabel dibawah.
a | i | u | é | o |
/a/ atau /ɔ/ | /i/ | /u/ | /e/ atau /ɛ/ | /o/ |
ꦄ | ꦆ | ꦈ | ꦌ | ꦎ |
aa | ii | uu | ai | au |
/aː/ | /iː/ | /uː/ | /ai/ | /au/ |
ꦄꦴ | ꦇ | ꦈꦴ | ꦍ | ꦎꦴ |
- Vokal panjang aa, ii, dan uu tidak diromanisasi dengan tanda baca macron.
- Ai dan au masing-masing merepresentasikan diftong /ai/ dan /au/. Namun keduanya tidak dipakai dalam teks berbahasa Jawa karena bahasa Jawa tidak mengenal diftong. Kedua huruf ini berguna untuk mengtranskripsikan bahasa-bahasa seperti bahasa Indonesia dan Melayu.
Disebut sandhangan swara, tanda baca ini dipakai sebagai pengubah bunyi vokal dalam tulisan Jawa.
Selain vokal yang terdapat pada bentuk mandiri, terdapat beberapa sandhangan yang tidak mempunyai bentuk mandiri unik.
Sandhangan tersebut adalah tarung yang memperpanjang vokal, pepet untuk vokal /ə/, dan pepet-tarung yang digunakan dalam penulisan Sunda untuk vokal /ɤ/.
Tanpa sandhangan, sebuah konsonan dibaca dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/. Untuk mengetahui kapan kedua vokal tersebut digunakan, terdapat peraturan untuk menentukan vokal inheren yang dipakai sebuah konsonan:
- Konsonan dibaca dengan vokal /ɔ/ apabila huruf sebelumnya memiliki sandhangan swara.
- Konsonan dibaca dengan vokal /a/ apabila huruf setelahnya memiliki sandhangan swara.
- Konsonan awal sebuah kata umumnya dibaca dengan vokal /ɔ/, dengan pengecualian apabila dua huruf setelahnya merupakan huruf dasar tanpa sandhangan, maka konsonan tersebut dibaca dengan vokal /a/.
a | i | u | é | o | e |
/a/ atau /ɔ/ | /i/ | /u/ | /e/ atau /ɛ/ | /o/ | /ə/ |
- | Wulu | Suku | Taling | Taling-tarung | Pepet |
ꦏ | ꦏꦶ | ꦏꦸ | ꦏꦺ | ꦏꦺꦴ | ꦏꦼ |
aa | ii | uu | ai | au | eu |
/aː/ | /iː/ | /uː/ | /ai/ | /au/ | /ɤ/ |
ꦏꦴ | ꦏꦷ | ꦏꦹ | ꦏꦻ | ꦏꦻꦴ | ꦏꦼꦴ |
ANGKA
Sistem angka Jawa mempunyai numeralnya sendiri, yang hanya terdiri dari angka 0–9 sebagai berikut:
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 0 |
siji | loro | telu | papat | lima | enem | pitu | wolu | sanga | nol |
꧑ | ꧒ | ꧓ | ꧔ | ꧕ | ꧖ | ꧗ | ꧘ | ꧙ | ꧐ |
Untuk menulis angka yang lebih besar dari 9, gabungkan dua angka atau lebih diatas seperti halnya angka Arab. Misal, 21 ditulis dengan menggabungkan 2 dan 1 menjadi; ꧒꧑. Dengan cara kerja yang sama, 90 ditulis dengan ꧙꧐.
Beberapa angka Jawa memiliki bentuk yang sangat mirip dengan karakter silabel Jawa, semisal ꧖ (6) dengan ꦌ (aksara e), dan ꧗ (7) dengan ꦭ (la). Untuk menghindari kerancuan, angka yang muncul dalam teks ditandai dengan tanda pada pangkat, yang ditulis sebelum dan setelah angka. Misal, "Selasa 19 Maret 2013" ditulis dengan:
ꦱꦼꦭꦱ ꧇꧑꧙꧇ ꦩꦉꦠ꧀ ꧇꧒꧐꧑꧓꧇
Di beberapa kasus, angka Arab menggantikan peran angka Jawa.
TANDA BACA
Dengan diperkenalkannya tulisan Jawa baru, tanda baca (pada) baru juga diperkenalkan. Tanda baca dapat dibagi menjadi dua: umum dan khusus.
Nama | Gambar | Font |
---|---|---|
Pada adeg | ꧊ | |
Pada adeg-adeg | ꧋ | |
Pada lingsa | ꧈ | |
Pada lungsi | ꧉ |
- Pada adeg. Berfungsi sama seperti tanda kurung atau petik (pada piseleh juga dapat digunakan),
- Pada adeg-adeg. Mengawali suatu paragraf,
- Pada lingsa. Berfungsi sama seperti koma, dan
- Pada lungsi. Berfungsi sama seperti titik.
1. Koma tidak ditulis setelah kata yang berujung pangkon.
2. Koma menjadi titik apabila tetap ditulis setelah pangkon.
Nama | Gambar | Font |
---|---|---|
Pada luhur | ꧅ | |
Pada madya | ꧄ | |
Pada andhap | ꧃ | |
Pada guru | ꧋꧆꧋ | |
Pada pancak | ꧉꧆꧉ | |
Purwa pada | ꧅ ꦧ꧀ꦕ ꧅ | |
Madya pada | ꧅ ꦟ꧀ꦢꦿ ꧅ | |
Wasana pada | ꧅ ꦆ ꧅ |
- Rerengan. Menandakan judul;
- Pada luhur. Mengawali sebuah surat untuk orang yang lebih tua atau berderajat lebih tinggi;
- Pada madya. Mengawali sebuah surat untuk orang yang sebaya atau berderajat sama;
- Pada andhap. Mengawali sebuah surat untuk orang yang lebih muda atau berderajat lebih rendah;
- Pada guru. Mengawali sebuah surat tanpa membedakan umur atau derajat;
- Pada pancak. Mengakhiri surat;
- Purwa pada. Mengawali sebuah tembang/puisi;
- Madya pada. Memulai bait baru dalam sebuah tembang/puisi;
- Wasana pada. Mengakhiri suatu tembang/puisi.
Terdapat juga beberapa tanda baca yang tidak dikategorikan dalam dua pada tersebut:
- Tirta tumétés dan isen-isen, serta
- Pada rangkep.
ꦥꦢꦮꦸ꧞꧞꧞ꦭꦸꦲꦸꦂ
Pada wu---luhur
Penulis dari Surakarta akan menulis:
ꦥꦢꦮꦸ꧟꧟꧟ꦭꦸꦲꦸꦂ
Pangrangkep pada dasarnya adalah angka Arab dua (٢) yang menandakan kata berulang. Dari segi bentuk, angka arab dua (٢) dan pangrangkep (ꧏ) sama persis. Kedua karakter ini dibedakan agar tidak terjadi rendering penulisan dwi-arah, mengingat Jawa ditulis dari kiri ke kanan dan Arab ditulis dari kanan ke kiri. Menariknya, metode menggunakan angka untuk menandakan kata berulang masih sering terlihat dalam bahasa tertulis masa kini, seperti "hati2" atau "anak2". Metode ini bahkan masih resmi pada ejaan Republik hingga akhirnya dihilangkan pada EYD tahun 1972.
URUTAN HURUF
Urutan paling umum dalam aksara Jawa adalah urutan hanacaraka, dimana 20 huruf dasar disusun membentuk puisi atau pangram sempurna, sebagai berikut;
yang penerjemahannya sebagai berikut:
Hana caraka Terdapat dua utusan/pembawa pesan
data sawala Yang berbeda pendapat
padha jayanya (Mereka berdua) sama kuat(jaya)nya
maga bathanga Inilah mayat mereka.
Puisi ini menceritakan tentang tokoh legendaris Aji Saka dan awal mula terciptanya aksara Jawa[4].
Aksara Jawa juga dapat disusun secara fonetis mengikuti kaidah Panini. Urutan ini dipakai untuk mengatur aksara Jawa di periode Hindu-Buddha, ketika aksara tersebut sering dipakai dalam terjemahan Sansekerta, dan sekarang masih dipakai sebagai urutan aksara Jawa dalam Unicode. Dengan urutan ini, setiap huruf dapat mewakili bunyi unik yang digunakan dalam bahasa Jawa kuno. bahasa Jawa modern memiliki bunyi yang lebih sedikit, terutama konsonan teraspirasi, karena itu beberapa huruf tidak dipakai lagi dan beberapa digunakan sebagai huruf kapital (lihat bagian murda dan mahaprana).
GAYA PENULISAN (GAGRAG)
Berdasarkan Bentuk aksara Penulisan aksara Jawa dibagi menjadi 3 yakni:
- Ngetumbar
4. Aksara Bali
Pada pertengahan tahun 1993 dan Maret 1998, Jeroen Hellingman mengajukan proposal untuk mendaftarkan aksara Jawa ke Unicode. Selanjutnya sekitar 2002, Jason Glavy membuat "font" aksara Jawa yang diedarkan secara bebas dan juga mengajukan proposal ke Unicode. Namun kedua proposal ini tidak diterima, dan baru sejak awal 2005 dilakukan usaha bertahap yang nyata untuk mengintegrasikan aksara Jawa ke dalam Unicode setelah Michael Everson membuat suatu code table sementara untuk didaftarkan. Kelambatan ini terjadi karena kurangnya dukungan dari masyarakat pengguna aksara Jawa.
Pada Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV 2006, mulai terhimpun dukungan dari masyarakat pengguna serta usaha untuk meregistrasi aksara Jawa dalam standar Unicode mulai intensif dilaksanakan. Tim khusus Registrasi Unicode aksara Jawa berhasil dibentuk dengan dikomandani oleh Hadiwaratama/Hadi Waratama (Bandung), Ki Sudarto HS/Ki Demang Sokowaten (Jakarta) dan Ki Bagiono Sumbogo/Djokosumbogo (Jakarta). Kerja keras selama kurang lebih 3 tahun ini akhirnya membuahkan hasil dengan telah diterimanya aksara Jawa sebagai aksara yang diakui dalam standar Unicode versi 5.2 (tergabung dalam Amandemen 6) yang keluar pada tanggal 1 Oktober 2009.Dalam pernyataan resmi di situs Unicode, disebutkan orang-orang yang terlibat dalam upaya penstandaran aksara Jawa ini adalah: Bagiono Djokosumbogo, Michael Everson (teknis), Hadiwaratama (ketua tim), Donny Harimurti, Sutadi Purnadipura, dan Ki Demang Sokowaten.
Sebenarnya dalam aksara-aksara Nusantara, aksara Jawa merupakan yang ke-5 untuk diakui Unicode, setelah aksara Bugis, aksara Bali (keduanya sejak 5.0), aksara Rejang dan aksara Sunda (keduanya sejak 5.1) telah diakui. Dibandingkan dengan aksara Bali (aksara Nusantara lain dengan kompleksitas yang sama dilihat dari segi rendering) aksara Jawa perlu waktu pengembangan yang lebih lama hingga akhirnya diterima dalam Unicode.
Ramalan Blogger
Ramalan Gratis